Senin, 22 Agustus 2016

Hukum Hormat kepada Bendera





Hadlaratusy Syaikh KH. Hasyim Asy'ari pernah Dawuh :  "Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama, dan keduanya saling menguatkan" Sehingga termasuk menghormat bendera merah putih hukumnya diperbolehkan karena termasuk bagian dari nasionalisme.


Menghormati bendera termasuk sesuatu yang tidak dibahas secara eksplisit di dua sumber hukum Islam Al-Quran dan al-hadits mengingat upacara bendera itu dulu tidak umum dulakukan. Sebagian ulama mengambil dalil dari kedua sumber yang kira-kira agak relevan dengan masalah ini. Karena itu, terjadi perbedaan pendapat dalam soal hukum menghormati bendera seperti diurai di bawah.

PENDAPAT AHLUSUNNAH YANG MEMBOLEHKAN HORMAT BENDERA
Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan karena bukan ibadah.

Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan karena bukan ibadah.

فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله
Artinya: Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah.[1]

Abdurrahman Syaiban–ketua Majelis Ulama Al-Jazair (جمعية العلماء المسلمين الجزائريين) tahun 1999-2001 — mengatakan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah karena tidak ada nash (dalil Quran hadits) yang mengharamkannya.
Abudurrahman Syaiban berkata:

أن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع
Artinya: Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yang mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa “Cinta tanah air itu bagian dari iman.” Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yang tidak ada kaitannya dengan syariah.[2]















Rabu, 17 Agustus 2016

Upacara HUT RI 71

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 71 tanggal 17 Agustus 2016 SMP NU Karangdadap menyelenggarakan Upacara HUT NKRI ke 71 di halaman SMP NU Karangdadap tepat jam 07.25 (sebelum) berangkat untuk menghadiri Upacara yang sama di tingkat kecamatan Karangdadap yang d tempatkan di lapangan sepak bola desa Pagumenganmas 


Inilah Group Marching Band SMP NU Karangdadap yang mengiringi jalanya 
Upacara HUT RI 71 di SMP NU Karangdadap


Siswa siswi serta dewan guru SMP NU Karangdadap senantiasa 
hidmat dalam mengikuti Upacara HUT RI 71 

Berikut kami sajikan 



Peran KH Hasyim Asy'ari dan Sejarah Awal Penyepuhan Bambu Runcing

(kami ambil dari NU Online)



Kota Parakan pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, yaitu tidak lama dari saat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Di kota kecil yang kini masuk kabupaten Temanggung Jawa Tengah ini di dalamnya berdomisili beberapa Kiai yang oleh masyarakat luas dikenal mempunyai ilmu hikmah yang kemudian di tangan mereka atas- izin Allah- bambu runcing memiliki pamor atau tuah sebagai bekal senjata perjuangan tentara dan rakyat dalam menghadapi penjajah kolonial yang hendak kembali menguasai tanah air Indonesia.

Para kiai sepuh itu pula yang menjadi salah satu pelopor terbentuknya Barisan Muslim Temanggung (BMT), sebuah organisasi yang mewadahi para ulama dan pemuda-pemuda santri Temanggung serta kawasan Kedu pada umumnya. Di samping merupakan gerakan masa yang gigih berjuang mempertahankan kemerdekaan, BMT  salah satunya juga berperan melayani dan menyambut para pejuang bangsa dari macam-macam elemen kelaskaran dan daearah saat mereka berdatangan ke Parakan untuk mendapatkan bekal kekuatan spiritual dan senjata bambu runcing sebelum terjun ke medan pertempuran.

Para Kiai Bambu Runcing yang dikenal memiliki ilmu hikmah tersebut dengan sendirinya menarik ribuan pejuang dari berbagai daerah untuk mengunjungi Parakan saat itu.  Bahkan  tidak saja para pejuang kelaskaran biasa tetapi juga para tokoh pemimpin bangsa dan tokoh agama yang menyempatkan datang ke Parakan. Para Kiai dimaksud yang menjadi tokoh penting di Parakan waktu itu antara lain: K.H. Subkhi (Subuki), K.H.R Sumo Gunardo, serta para kiai lain di Parakan dan Temanggung seperti K.H. M Ali, K.H. Abdurrahman, K.H. Nawawi, K.H. Istakhori dan  juga KH. Mandzur dari Temanggung.

Ketika Parakan sedang ramai menjadi pusat penempaan bekal spiritual bagi para pejuang,  Hadhratussyekh Hasyim Asyari berinisiatif mengunjungi Parakan untuk memberi wejangan kepada Barisan Muslimin Temanggung (BMT) atau yang dikenal juga dengan barisan Pasukan Bambu Runcing.

Namun, sebagaimana diceritakan KH. Muhaiminan Gunardho (pendiri Pondok Kiai Parak Bambu Runcing dan putra K.H.R Sumo Gunardo), sebelum KH. Hasyim Asy'ari, Tebuireng ngrawuhi di Parakan untuk memberi wejangan kepada BMT, Pengurus BMT dan para Ulama Parakan segera mengadakan musyawarah. 

Musyawarah tersebut memutuskan yaitu jangan sampai Hadlratussyekh KH. Hasyim Asy'ari rawuh dulu ke Parakan, tetapi kita dulu yang sowan kepada beliau di Tebuireng Jombang. Maka yang menghadap sowan ke sana adalah KH. Subchi, KH. Nawawi, K. Ali/K. Syahid Baidhowi. Mereka yang sowan ke Tebuireng, ternyata didawuhi juga oleh KH. Hasyim Asy'ari untuk menyepuh Bambu Runcing.

Penyepuhan bambu runcing di Jombang dilakukan dengan tata cara sebagaimana di Parakan. Sejak menghadap KH. Hasyim Asy'ari dan selanjutnya diperintahkan mengasma' bambu runcing di Jombang, lalu nama KH. Subchi dan Bambu Runcing Parakan mulai dikenal di Jawa Timur.

Setelah kunjungan para Kiai Parakan ke Jombang, tidak berapa lama datang rombongan pemuda pejuang Hizbullah Jombang ke Parakan. Mereka memakai pakaian serba hitam, dan peci hitam. Selain itu banyak tamu terhormat kemudian datang ke Parakan. Di antaranya ialah KH. Saifudin Zuhri datang bersama Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah waktu itu. Beliau ditemui ketua BMT KH. Nawawi.

KH. Saifudin Zuhri dan Gubernur Wongsonegoro setelah keduanya ditemui di kantor BMT yang selalu ramai, beliau berdua kemudian diantar ke rumah KH. Subchi oleh KH. Nawawi, Kiai Ali dan KH. Mandhur yang pada waktu itu ketua laskar Sabilillah Karesidenan Kedu.

Berdasarkan catatan KH. Muhaiminan Gunardho para tokoh penting yang datang ke Parakan pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI saat itu  adalah:

1. KH. Wahid Hasyim, tokoh Masyumi waktu itu
2. KH. Masykur, ketua pusat Laskar Sabilillah
3. Jendral Soederman beserta divisinya
4. KH. Zainal Arifin, ketua Hizbullah
5. Moh Roem
6. KH. Saifudin Zuhri
7. Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah
8. Ruslan Abdul Ghani

Ada satu fragmen mengesankan yang menunjukkan betapa rendah hatinya Kiai Subkhi yang merupakan kiai yang paling disepuhkan (dituakan) diantara barisan kiai bambu runcing ketika KH. Saifudin Zuhri menyampaikan maksud kedatangan beberapa tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur dan KH. Zainal Arifin.

Setelah mendengar maksud mereka, KH. Subkhi tidak kuasa menahan rasa haru, seraya berucap dengan bahasa Jawa, "Kengeng menopo panjenengan kok mboten sowan lan nyuwun dateng KH. Siroj Payaman utawi KH. Dalhar Watucongol. Panjenenganipun kekalih meniko ulamaipun Gusti Allah." (Kenapa kok kalian tidak menghadap saja kepada KH. Siroj Payaman atau KH. Dalhar Watucongol (Magelang). Beliau berdua merupakan Ulamanya Allah. (M. Haromain)

Sebagian besar bahan artikel ini disarikan dari Cuplikan Sejarah Bambu Runcing karya KH. Muhaiminan Gunardho, Kota Kembang, Yogyakarta: tanpa tahun.